NGO Ungkap Kerusakan Parah Raja Ampat akibat Tambang Nikel, Desak Izin Dicabut
Resensi Kaltim, Jakarta – Organisasi lingkungan Auriga Nusantara bersama Earth Insight merilis laporan investigasi berjudul Red Alert: Nickel Mining Threats to Raja Ampat yang mengungkap dampak serius pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Hasil analisis spasial menunjukkan tambang nikel mengancam ekosistem laut, terumbu karang, hutan, hingga mata pencaharian masyarakat lokal. Kedua NGO ini mendesak pemerintah mencabut seluruh izin tambang nikel demi melindungi Raja Ampat yang dikenal sebagai “Mahkota Keragaman Hayati Laut Dunia”.
Dampak Pertambangan
Menurut laporan, terdapat konsesi tambang nikel seluas lebih dari 22.000 hektare di Raja Ampat. Aktivitas ini mengancam 2.470 hektare terumbu karang, 7.200 hektare hutan alam, dan penghidupan lebih dari 64.000 penduduk lokal.
“Pertambangan nikel di Raja Ampat menimbulkan efek berantai. Deforestasi, sedimen yang merusak terumbu karang, hingga berpindahnya biota laut yang selama ini menjadi sumber pangan masyarakat,” ujar Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung, Kamis (25/9), dikutip dari CNN Indonesia.
Timer menegaskan keuntungan jangka pendek tambang tidak sebanding dengan kerugian ekologis dan ekonomi pariwisata dalam jangka panjang. Ia meminta pemerintah segera mencabut seluruh izin tambang, termasuk milik PT Gag Nikel di Pulau Gag.
Raja Ampat: Surga Laut Dunia
Raja Ampat menyimpan 75 persen terumbu karang perairan dangkal dunia, lebih dari 1.600 spesies ikan, dan menjadi habitat utama Pari Manta Karang. Gugusan pulau ini dihuni masyarakat adat Papua yang menggantungkan hidup pada ekosistem laut dan hutan.
Meski pemerintah sempat mengumumkan pencabutan empat izin tambang pada Juni 2025, hingga kini belum ada publikasi resmi terkait surat keputusan maupun rencana pemulihan lingkungan. Bahkan, tambang di Pulau Gag dinyatakan tetap beroperasi meski status geopark UNESCO dicabut pada awal September 2025.
Ancaman Serius
Dikutip dari CNN Indonesia, Auriga Nusantara dan Earth Insight mengidentifikasi delapan ancaman utama akibat tambang nikel di Raja Ampat, antara lain:
- Kerusakan masif – 92% hutan alam di pulau kecil berizin tambang terancam hilang, sementara 36% terumbu karang berada dalam radius 5 km dari lokasi tambang.
- Perluasan cepat – area tambang 2020–2024 meluas tiga kali lebih cepat dibanding periode sebelumnya.
- Ancaman biota laut – sedimen nikel dan polusi suara mengganggu Pari Manta, lima spesies penyu langka, hingga lumba-lumba.
- Marjinalisasi masyarakat – lebih dari 64.000 penduduk tak dilibatkan dalam penerbitan izin, namun menanggung dampaknya.
- Hilangnya mata pencaharian – nelayan mengaku ikan dan lumba-lumba menghilang akibat aktivitas tambang.
- Ketidakjelasan pencabutan izin – meski diumumkan, belum ada bukti otentik pencabutan izin serta rencana pemulihan lingkungan.
- Celah hukum – perusahaan kerap menang gugatan atas pencabutan izin, sementara pemerintah belum menetapkan zona larangan tambang (No-Go Zones).
- Ancaman pariwisata – status geopark dan daya tarik wisata bisa tergerus, padahal pada 2023 Raja Ampat mendatangkan 19.000 wisatawan.
Desakan Global
Analis spasial Earth Insight, Tiffany Hsu, menilai ekspansi tambang nikel di Indonesia dilakukan demi mengejar ambisi menjadi “OPEC nikel” untuk memenuhi permintaan global kendaraan listrik. Namun, langkah ini justru merusak ekosistem yang sensitif secara ekologis.
“Raja Ampat adalah salah satu ekosistem laut terkaya di dunia. Tapi tambang nikel justru menimbulkan kerusakan luas, baik bagi lingkungan maupun penduduk setempat,” kata Tiffany.
Ia menekankan, pengumuman pencabutan izin tanpa kepastian hukum tidak cukup untuk melindungi Raja Ampat. “Perlindungan penuh hanya bisa terwujud dengan mencabut seluruh izin tambang yang ada,” tegasnya. (yin)